PORTALSUMBA.COM-Politik itu memang sangat cair. Awalnya, saya menduga bahwa Relawan Projo (Pro Jokowi) adalah simpatisan tulen PDI Perjuangan (PDIP) dan loyal 100 persen kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri. Ternyata tidak. Relawan Projo hanya loyal 100% kepada Jokowi. Ketika idolanya, yakni Jokowi terkesan “direndahkan” oleh Megawati dalam pidato politiknya pada HUT ke-50 PDIP di Jakarta, relawan Projo dengan cepat bereaksi. Mereka tidak sependapat dengan Megawati.
Ada kesan dalam pidato Megawati itu, bahwa Jokowi tak ada apa-apanya tanpa PDIP. Kasihan dah Pak Jokowi…., katanya. Fakta yang harus diingat bahwa, tatkala Jokowi menang dan PDIP juga unggul, muncul wacana tentang Jokowi Effect. Bahwa Jokowi yang namanya membubung tinggi tatkala Pilpres 2014 dan 2019, justru ikut memberi andil bagi kemenangan PDIP. Itu fakta yang tak bisa dibantah.
Wacana publik itu mengandung makna bahwa, ada simbiosis mutualisme antara Jokowi dan PDIP, kemenangan Jokowi dan kemenangan PDIP. Kalau salah satu dari kedua variabel itu tidak memiliki daya saing, maka kemenangan itu suah pasti tidak akan bisa diraih. Buktinya ? Megawati kalah melawan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada Pemilihan Presiden secara Langsung (pertama kali) pada 2004, meski ia didukung penuh oleh PDIP. Bahkan pada saat itu ia sedang menjadi presiden, dan Ketua Umum PDIP. Kita tahu, Megawati sama sekali belum pernah menang dalam pemilihan presiden. Ia menjadi presiden karena Presiden Gusdur dilengserkan oleh MPR dan Megawati yang saat itu menjadi Wakil Presiden diangkat jadi Presiden. Oleh karenanya, saya menganggap wajar, kalau relawan Projo bereaksi keras, ketika idolanya (Jokowi) seolah-olah “direndahkan” oleh Megawati.
Para elit PDIP, ramai-ramai berusaha menetralisir reaksi masyarakat terhadap pidato Megawati itu dengan mengatakan bahwa apa yang dikatakan Megawati adalah sebuah bahasa rakyat, untuk kalangan internal. Tetapi bagi saya, pidato Megawati itu, seolah-olah adalah sebuah pidato dari seorang komandan yang menang perang. Apa saja boleh dikatakannya, yang menunjukkan keunggulan-keunggulannya. Dalam celoteh orang Bali, disebut sebagai celoteh bebotoh menang apa adi orahang (penjudi menang, apa saja bisa dibilang) karena sedang mabuk kemenangan.
Dalam skala nasional, kita juga telah melihat gelagat kepemimpinan para tokoh nasional, yang memenangkan perang kemerdekaan, yang memimpin republik ini. Beliau sangat ingin agar tujuan nasional cepat-cepat tercapai, karena rakyat sudah capek dengan penderitaan pasca perang kemerdekaan. Oleh karenanya, kadang-kadang beliau bersikap tegas dan keras. Untuk itu, kita pun harus dapat memakluminya.
Seperti di lansir dari stispol co.id Kembali pada kasus pidato Megawati, saya melihat bahwa ia lebih banyak hanya mendiskusikan fenomena menjelang pemilu tahun 2024. Sangat berjangka pendek. Itu bisa saja, karena sangat seksi dan fenomenal. Tetapi seharusnya, dalam konteks HUT ke-50, ia sebaiknya lebih banyak berbicara tentang pendidikan politik. Khususnya berkait dengan masa satu Abad Indonesia, pada tahun 2045 mendatang. Fenomena sosial apa yang akan terjadi, ditengah-tengah arus teknologi informasi dan globalisasi yang semakin membahana. Kalau tidak diantisipasi, maka fenomena sosial ini akan sangat membahayakan Indonesia, yang sangat plural dalam berbagai aspek geopolitik.
Kalau ia mampu menganalisis fenomena transformasi sosial yang akan terjadi, maka harus ditekankan, apa-apa yang harus dilakukan oleh bangsa ini, khususnya dalam konteks melestarikan eksistensi empat konsensus nasional Indonesia (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI). Mengapa? Karena generasi baru bangsa ini, harus sadar dan paham sejarah, bahwa kemerdekaan bangsa ini tidak jatuh begitu saja dari langit. Banyak sekali pengorbanan yang harus dipersembahkan oleh para pendiri bangsa. Pengorbanan keringat, air mata bahkan tetesan darah. Lalu, para pendiri bangsa bersepakat tentang pentingnya kehadiran dari empat konsensus nasional, sebagai landasan pembangunan nasional ke depan.
Saya berpendapat bahwa betapa pun suksesnya pembangunan nasional yang akan dicapai di masa depan, hal itu tidak akan berarti apa-apa, bila pembangunan itu mengabaikan konsensus nasional para pendiri bangsa. Oleh karenanya, ketua parpol tidak saja harus berbicara tentang politik praktis untuk mencapai kekuasaan, tetapi harus lebih banyak melakukan pendidikan politik bagi generasi baru Indonesia, termasuk betapa bahayanya politik identitas bagi Indonesia.
Pimpinan parpol seharusnya berbicara tentang sikapnya berkait dengan sistem politik Indonesia yang semakin sangat liberal dan sistem ekonominya yang semakin sangat kapitalistis. Para pemimpin parpol juga harus banyak berbicara tentang seberapa jauh nilai-nilai Pancasila sudah diterapkan dalam proses pembangunan nasional. Bagaimana agar generasi muda memahami nilai-nilai dasar Pancasila dan implementasinya. Kalau hal ini tidak menjadi bahan renungan mereka, maka tetap saja bangsa Indonesia akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang korup, dalam segala lini kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam masa pembangunan yang sangat kompleks ini, diperlukan para pimpinan parpol dan elit politik yang lebih banyak merenung, melakukan introspeksi, dan memiliki visi untuk memberi kepada bangsanya dan selanjutnya berbicara yang terukur dan sangat hati-hati. Kenapa harus hati-hati, karena ucapan pemimpin itu berdampak luas di masyarakat, baik berdampak bagi dirinya maupun bagi rakyat. Hasilnya, akan lahir pemimpin yang rendah hati. Harusnya pemimpin tidak bicara sembarangan karena dia bukan orang sembarangan. Rakyat pasti tak menginginkan pemimpin yang ojo dumeh, sok kuasa, arogan dan mengidap kesombongan politik. Hanya dengan kerendahhatian, pemimpin nasional Indonesia akan mampu membawa masa depan bangsa ini yang gemilang. Suatu masa depan, yang sama sekali tidak melupakan sejarah masa lalu dan warisan/pusaka bangsanya.
Saat ini, faktanya PDIP telah menjelma menjadi partai besar, dan memenangkan kepemimpinan nasional Indonesia. Karena sejarahnya yang panjang, PDIP seharusnya mengambil peran strategis untuk melakukan pendidikan politik yang strategis. Yakni dengan merumuskan dan memberikan pandangan tentang masa lalu bangsanya, apa yang kini sedang terjadi, dan bagaimana masa depan bangsa ini harus dibangun. Tentu saja PDIP tak boleh menyepelekan peran serta komponen bangsa lainnya karena pembangunan menuju Indonesia maju tidak bisa dilakukan oleh PDIP sendiri dan dia pasti butuh orang lain. Kalau tidak, maka itu berarti bahwa PDIP telah tidak mampu mengambil perannya yang strategis, ditengah-tengah kenikmatan kemenangan politiknya. Saat ini rakyat sudah sangat cerdas, dan mampu menilai kualitas omongan dan tindakan setiap pemimpin. Rakyat akan memberikannya reward and punishment saat Pemilu. Kita lihat saja nanti seperti apa hasil Pemilu 2024.
(Penulis//adalah Guru Besar Emeritus pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti di Denpasar).